Ternyata Aku Masih Belum Berubah

Amelia Khoirurrahma
3 min readMar 12, 2023

--

Disclaimer: Ini bukan konten hikmah, hanya sebuah tong sampah untuk menumpahkan keluh kesah.

Setiap kali ada teman yang menyebutku perfeksionis, aku selalu berusaha mengelak, mencoba menjelaskan kalau aku sudah tak seperti itu. Ditambah banyak bukti nyata yang ku paparkan, terutama terkait kondisi hidupku sekian tahun ke belakang.

Namun, ada satu hal yang aku sadari ternyata belum juga hilang.

Tentang ketakutanku akan dimusuhi manusia lainnya, dijauhi, dan dicap sesuatu yang buruk oleh mereka. Responku bisa sangat menyebalkan kalau menyangkut itu semua.

Hal itu mulai kembali aku sadari setelah banyak rangkaian peristiwa dalam hidupku yang terjadi beberapa waktu ke belakang. Isi kepalaku yang bisa dibilang selalu dipenuhi oleh asumsi-asumsi negatif terkait pandangan orang lain terhadap diriku sendiri.

Setahun terakhir, aku selalu takut jika bertemu orang yang ku kenal di lingkungan kampus. Takut dipandang sinis dan dicap “nggak lulus-lulus”.

Aku juga takut untuk mulai menulis kembali, padahal menulis adalah salah satu terapi emosionalku. Lagi-lagi aku takut dicap “belum beres TA malah nulis mulu di mana-mana”.

Aku pun takut untuk hanya sekadar memasang status WA. Takut dikira sebagai “manusia gabut yang nggak punya kesibukan di luar sana”.

Lebih parah lagi, aku bahkan takut untuk bertemu saudara sendiri. Masih sama. Perihal takut dipandang negatif atas hal-hal yang belum bisa aku selesaikan di bangku perkuliahan.

Rasa takutku itu selalu membuatku terjebak di sudut ruang. Tidak berani melangkah ke tengah untuk mencoba menuntaskan masalah. Padahal, semua itu hanya asumsiku belaka. Tidak ada satupun manusia yang terang-terangan menyebutku seperti itu. Entahlah seperti apa kalau di belakang.

Ternyata aku masih takut dibenci orang.

Teman-teman satu tim MPO-ku dulu pun pasti tahu betapa menyedihkannya aku ketika hubungan dengan adik tingkat yang seharusnya aku bersamai justru dilanda pasang surut gelombang. Keceriaanku yang biasanya terpampang seketika hilang hanya karena masalah hubungan dengan seseorang.

Sekali lagi, ternyata aku masih belum siap untuk tidak disukai orang.

Hal itu jugalah yang membuatku takut untuk beropini secara gamblang. Aku takut opini yang ku suarakan akan dibantah dan menimbulkan permusuhan. Baru beberapa tahun terakhir aku menjadi orang yang cukup vokal akibat pengaruh dari teman-teman organisasiku yang mendorongku untuk berbuat begitu.

Ya, aku sangat tidak siap untuk itu semua.

Aahh, lucu ya?

Sudah berapa banyak aku bercerita tentang tidak pentingnya pandangan manusia? Tapi, nyatanya aku masih gagal total dalam menerapkannya di dunia nyata. Aku masih bergerak dalam hidup berdasarkan itu semua.

Secara teori, aku tahu bahwa tidak ada satupun manusia yang akan selalu disukai manusia lainnya. Bahkan manusia terbaik di dunia sekalipun saja tidak. Tapi, a — apa ya? Entahlah, aku masih sangat tidak siap untuk itu semua.

Sebagian orang yang mengenalku pasti tahu kalau aku sangat cinta perdamaian dalam hubungan, kondisi stabil ketika hubungan antarmanusia harmonis tanpa ada kerenggangan. Itu sudah nyaris mendekati puncak piramida kebahagiaanku. Ta — tapi, itu tidak mungkin terus tercapai, ya kan?

Sepertinya aku memang harus mulai melatih diri untuk tidak disukai manusia lainnya. Ya, walaupun saat ini tidak ada bukti nyatanya, tapi setidaknya aku tidak akan sesakit hati itu kalau memang ternyata ada. Ya pasti ada.

Haaahh, mentalku masih payah ternyata…

--

--

Amelia Khoirurrahma
Amelia Khoirurrahma

Written by Amelia Khoirurrahma

Semi jurnal kehidupan, tidak akan relevan untuk banyak orang.

No responses yet