Part 2 — Fenomena Sholat Berjamaah Wanita
Ini adalah cerita bertema sama dengan tulisan yang pernah saya tulis sebelumnya. Tulisan yang saya maksud bisa dibaca di sini.
Kenapa saya menulis tentang ini lagi? Karena keresahan saya tentang hal ini mencuat kembali.
Hari Jumat lalu, saya dan beberapa teman lainnya menghadiri acara Hijabfest Indonesia 2023. Acara tersebut diselenggarakan di Gedung Sabuga, Bandung dan dibanjiri oleh ribuan partisipan. Kami berniat menghadiri salah satu mata acara pada festival itu yang dilaksanakan selepas jam makan siang.
Sebagian dari kami yang sedang tidak berhalangan bergegas ke mushola di Sabuga untuk menunaikan sholat Zuhur terlebih dahulu. Tahu tidak apa perasaan saya setelah masuk ke dalam musholanya? Sempit, sesak, seperti sedang bermain di dalam labirin.
Mushola khusus wanita itu sebenarnya bisa dikatakan cukup luas, ada lebih dari sepuluh shaf panjang di dalamnya. Lantas apa yang membuat saya merasa sesak? Ya, orang-orang yang menunaikan sholat di dalamnya.
Bisa dilihat gambaran bagaimana para jamaah wanita mengisi shaf-shaf di mushola tersebut yang dilambangkan dengan titik biru. Hancur lebur. Sebagai informasi, lebih dari 90% jamaah tersebut sedang menunaikan sholat Zuhur munfarid alias sendiri-sendiri.
Saya dan Yolanda, salah satu teman saya, langsung bertatapan seketika. Sepertinya pikiran kami saling terkoneksi atas fenomena yang lagi-lagi kami lihat langsung di depan mata ini.
Tebak apa bagian menariknya? Yap. Bagaimana cara kami masuk dari pintu mushola mencari tempat untuk sholat dan keluar dari mushola itu bagaikan sedang bermain di dalam labirin. Kami saling berusaha untuk tidak melalui bagian depan dari orang yang sedang menunaikan sholat tanpa sutrah (pembatas sholat yang diletakkan di bagian depan).
Apakah permainannya berhasil kami lalui? Tentu saja tidak!!
Terlalu banyak jamaah yang tidak meletakkan sutrah di depannya dan berakhir kami lewati begitu saja. Tidak ada pilihan lain. Jamaah yang mengantri ingin masuk atau keluar sudah sangat banyak dan akan membutuhkan waktu lama jika harus menunggu orang-orang yang sholat tanpa sutrah ini selesai terlebih dahulu.
Bagian yang lebih membuat kami, Yolanda dan saya, tidak habis pikir lagi adalah sebagian besar dari mereka hanya menempati 4–5 shaf paling belakang, sedangkan shaf-shaf depan bisa dibilang hampir kosong melompong.
Bisa dibayangkan bagaimana chaos-nya kondisi shaf bagian belakang. Apalagi pintu keluar-masuk mushola tersebut memang berada di bagian belakang ruangan. Aih, makin tidak karuan, bukan?
Akhirnya setelah selesai sholat, Yolanda dan saya mencoba sedikit berdiskusi terkait mengapa fenomena di mushola wanita ini seringkali terjadi. Selain berkaitan dengan apa yang pernah saya paparkan di tulisan saya sebelumnya, Yolanda berpendapat bahwa mungkin juga fenomena ini merupakan hasil pemaknaan dari hadits yang mengatakan bahwa shaf terbaik bagi wanita adalah shaf yang paling belakang.
خَيْرُ صُفُوفِ الرِّجَالِ أَوَّلُهَا وَشَرُّهَا آخِرُهَا، وَخَيْرُ صُفُوفِ النِّسَاءِ آخِرُهَا وَشَرُّهَا أَوَّلُهَا
“Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal.” (HR. Muslim).
Pendapatnya cukup masuk akal dan saya tertarik untuk mencari informasi tentang pemaknaan hadits tersebut. Inilah yang saya dapatkan:
Alasan bahwa sebaik-baiknya shaf wanita adalah shaf yang paling belakang ialah karena shaf yang paling belakang itu adalah shaf yang paling jauh dari kaum pria, semakin jauh seorang wanita dari kaum pria maka semakin terjaga dan terpelihara kehormatannya dan semakin jauh dari kecenderungan terhadap kemaksiatan.
Akan tetapi, jika tempat shalat kaum wanita jauh dan terpisah dengan dinding atau pembatas sejenis lainnya sehingga kaum wanita itu hanya mengandalkan pengeras suara dalam mengikuti imam, maka pendapat yang kuat dalam hal ini adalah bahwa shaf yang pertama adalah yang lebih utama dari pada shaf yang dibelakangnya dan seterusnya, karena shaf terdepan ini lebih dekat kepada kiblat.
Sudah cukup jelas, bukan?
Hadits tersebut ditujukan untuk area sholat yang tidak memiliki tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan, bukan untuk kondisi mushola yang area wanitanya terpisah dengan laki-laki. Jika area sholat wanita terpisah dengan laki-laki, maka shaf yang utama tetaplah shaf di depan.
Jadi, masalah utama fenomena ini apa?
Yaa, sepertinya lebih kepada para wanita yang belum benar-benar memahami terkait keutamaan sholat berjamaah ini serta pemaknaan hadits yang saya sedikit jelaskan sebelumnya.
Entahlah, bagaimana ya, yang sudah paham saja kadang malas melakukan. Apalagi yang belum paham.
Sepertinya menarik jika dibuat banyak konten pencerdasan tentang keutamaan sholat berjamaah yang diletakkan di mushola-mushola wanita. Ah, jangan lupa mulai dari diri sendiri juga ya. Hayuk Yol, mari kita tegakkan sholat berjamaah di mushola wanita hahaha.
Semoga Allah memudahkan kita dalam memahami ilmu dan mengimplementasikannya di kehidupan nyata. Aamiin.
#MeletakAsa
Referensi:
https://islami.co/benarkah-shaf-belakang-lebih-utama-bagi-perempuan/