Mewarnai Kanvas Kosong
Kali ini saya terjebak di sebuah masjid selepas salat Maghrib. Tanpa sadar, hujan turun deras dan membuat saya mengurungkan niat untuk segera bergegas ke lokasi berikutnya.
Ada banyak orang yang mungkin bernasib sama seperti saya. Ditambah lagi tadi sore baru saja diadakan kajian di masjid ini sehingga membuat jemaah yang singgah terlihat lumayan melimpah.
Di belakang saya ada seorang balita laki-laki berpeci yang sedang sibuk menyanyikan lagu “Naik Kereta Api” dan menggerakkan mobil-mobilan. Ibunya memperhatikan dari sudut dinding sembari membaca ayat-ayat Al-Qur’an.
Sementara itu, di arah jam dua ada anak perempuan cantik berkerudung yang tengah mengunyah makanan ringan, sesekali berlarian mengintip ke tirai pembatas jemaah untuk memanggil abinya sambil antusias melambaikan tangan. Tidak jauh berbeda, uminya terlihat sedang duduk di tepi shaf memegang sebuah mushaf.
Betapa lucunya tingkah hangat mereka menghiasi malam dingin di masjid ini.
Sesaat ingatan saya kembali ke bulan lalu, ketika tengah pergi bersama teman ke sebuah pusat perbelanjaan. Di depan pelataran mal itu, ramai berkumpul banyak orang tua dan anak-anak mereka.
Saya kira ada apa, ternyata saat itu sedang diadakan fashion show competition untuk anak-anak. Sontak saya cukup tercengang ketika melintas dan melihat aneka rupa style berpakaian para peserta lomba.
Pakaian mereka sangat heboh dan untuk ukuran anak-anak itu apa yaa, eum agak… terbuka?
Ya iya sih, saya memang beberapa kali pernah lihat kids fashion show di layar kaca, cuma nggak nyangka aja kalau aslinya dandanan mereka seheboh itu. Apalagi untuk peserta perempuannya.
Yaa, bayangkan aja. Anak usia 4–8 tahunan mengenakan kostum tanpa lengan dan bawahan sebatas paha. Bahkan ada yang menggunakan crop top style, menampakkan sebagian area perut mereka. Belum lagi riasan wajah berbagai warna yang membuat saya agak asing melihatnya.
Mungkin ada sekitar lima belas menitan saya menonton acara itu, menyaksikan para orang tua yang antusias memotret dan menyemangati penampilan anaknya ketika berjalan di atas catwalk, mendengarkan berbagai komentar juri dan penilaiannya.
Di satu sisi saya salut dengan para orang tua itu. Mereka terlihat sangat bangga dan mendukung bakat anaknya. Pasti butuh effort yang besar bagi mereka untuk mencari informasi tentang lomba, mendandani dan melatih anaknya, serta meluangkan waktu untuk itu semua.
Namun, di sisi lain, ada perasaan tidak nyaman ketika saya melihatnya. Ah, atau memang standar kenyamanan saya saja yang berbeda dengan para orang tua itu? Entahlah…
Akibat dua fenomena berbeda yang saya alami di atas, saya jadi memahami sesuatu:
Anak-anak itu bagaikan kanvas kosong. Mereka akan menghasilkan gambar sesuai dengan cat warna apa yang ditorehkan di atasnya.
Makanya saya cukup setuju dengan istilah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”, tapi saya memaknai itu bukan hanya sebatas antara anak dengan orang tuanya saja, melainkan lebih kepada antara anak dengan pengasuh dan lingkungan tempat mereka bertumbuh.
Mau menyangkal sebesar apapun juga, tetap saja karakter dan pola pikir anak-anak itu bersumber dari orang-orang di sekitarnya, terutama pengasuh terdekatnya.
“Anak-anak itu peniru ulung”, kalau kata para pakar parenting.
Karena mereka kanvas kosong, maka ketika kita menuangkan sesuatu akan dapat diserap dengan cepat. Lain halnya dengan orang yang lebih dewasa. Mereka sudah berupa kanvas penuh warna, butuh cat berlapis-lapis untuk menutupi warna-warna yang telah ada sebelumnya.
Itu juga yang membuat saya cukup sensi ketika ada orang dewasa yang melakukan hal buruk di depan anak-anak. Berkata kasar, berteriak kencang, merokok, membuang sampah sembarangan, dan segudang sifat buruk lainnya. Ingin saya sentil rasanya.
Bukannya apa-apa, tapi anak-anak itu memang mudah untuk meneladani sesuatu. Alhamdulillah kalau sesuatunya itu baik, lah kalau buruk kan jadi repot juga.
Saya kadang jadi mikir apa harusnya di dunia ini ada sertifikasi buat jadi orang tua ya, biar para orang tua itu terstandardisasi gitu. Ah, tapi nggak mungkin juga. Lah orang bahkan banyak yang belum nikah malah udah dikaruniai anak hahhh…
Yaa, buat kita-kita yang udah bisa berpikir dewasa, coba jadilah cat warna kebaikan bagi anak-anak di sekitar kita. Buat adik kita, keponakan kita, anak tetangga kita, dan anak-anak lainnya. Supaya kelak ketika mereka beranjak dewasa juga bisa mewarnai kanvas-kanvas lainnya dengan warna kebaikan pula.
Setidaknya kalau memang masih punya tabiat buruk, ya ditahan-tahan lah ya, jangan terang-terangan ditunjukkan di depan anak-anak imut yang masih dalam proses tumbuh kembang. Semoga kita dapat dimudahkan untuk berbuat baik dan memberikan contoh baik dalam berkehidupan.
#MeletakAsa