Doa-Doa Patah Hati
“Kamu pernah depresi?”
Saya berpikir keras atas pertanyaan yang dilontarkan oleh seseorang itu, mencoba mengingat kembali momen apa yang membuat saya sampai depresi.
Nihil. Saya menyerah. Akhirnya saya jawab, “Nggak pernah.”
Dia terkesima, bertanya bagaimana bisa. Saya hanya menjawab seadanya, tapi satu pertanyaan singkat itu melabuhkan saya pada berbagai pertanyaan lainnya. Sampai akhirnya saya berkesimpulan bahwa selalu merasa tenang itu tidak enak juga.
Ketenangan yang sering saya rasakan ternyata memiliki dua mata pisau berbeda. Di satu sisi, itu membuat nyaman karena saya tidak merasa cemas akan banyak hal. Namun, di sisi lain perasaan tenang yang berlebihan menimbulkan kemalasan untuk melakukan suatu hal, yaitu berdoa.
Ya. Itu salah satu penyebab mengapa belakangan ini saya merasa sedang sangat kurang berdoa.
Sebetulnya saya masih berdoa sih. Berdoa pasca-sholat untuk kedua orang tua dan keluarga, meminta keselamatan dunia akhirat, melantunkan kalimat dzikir, dan berbagai rutinitas berdoa lainnya.
Tapi nih ya, pernah nggak sih merasa doa-doa yang kita ucapkan kepada Allah itu seakan-akan hanya sebuah formalitas belaka? Seakan-akan hanya sebuah format teks yang kebetulan isinya sudah kita hafal di luar kepala?
Sedih? Banget!!
Kita kalau minta sesuatu sama orang tua aja ada adabnya, harus pakai kalimat yang baik, dipuja-puja, dan benar-benar berharap kepada mereka. Lah ini, minta sama Sang Pencipta kok malah ala kadarnya?
Kegundahan saya tentang formalitas doa itu membuat saya tadi iseng meminjam salah satu buku di perpustakaan Masjid Salman. Buku yang berjudul “Doa-Doa Patah Hati”. Saya belum selesai bacanya sih, baru sekitar 50 halaman.
Saat membaca halaman 44, saya refleks bertanya kepada teman saya via pesan.
“Gue lagi ngerasa kurang berdoa, apa perlu patah hati dulu ya?”
Buku ini aslinya ditujukan untuk menyembuhkan orang-orang yang patah hati, tapi saya yang baca bukunya malah jadi pengen patah hati. Ya gimana ya, soalnya patah hati bisa bikin seseorang itu lebih dekat sama Tuhannya. Ya bisa juga bikin makin jauh sih, bunuh diri contohnya. Duh, naudzubillah min dzalik.
Pokoknya gara-gara buku itu, saya merasa bahwa kita nggak cuma butuh rasa tenang, tapi juga butuh rasa takut, rasa cemas. Perasaaan-perasaan itu yang membuat kita ingin bergantung pada sesuatu dan sebagai seorang muslim, itu adalah momen-momen emas untuk menjadikan kita makin bergantung sama Allah.
Rasa takut itu juga yang akhirnya membuat kita banyak berdoa, banyak berharap agar diberikan apa yang kita butuhkan, juga dikaruniai rasa ketenangan.
Apa saya berdoa buat diberi rasa takut aja ya? Daripada saya minta dikasih patah hati? Kapok ah. Rasanya nggak salah juga, selama rasa takut yang saya minta itu ditujukan untuk sesuatu yang memang sudah semestinya.
Hmm, ternyata benar ya. Kita jadi manusia itu nggak boleh merasa “terlalu” dalam suatu hal. Jangan terlalu takut, jangan terlalu tenang, jangan terlalu sedih, juga jangan terlalu senang.
Begitupun dengan perasaan-perasaan lainnya, rasa suka, cinta, marah, benci, atau apapun itu. Semua harus sesuai porsinya, nggak lebih juga nggak kurang. Yaa, itu lah susahnya. Bagaimana memanajemen diri dan emosi untuk menjadi umat pertengahan.
Apapun kondisi kita, pokoknya jangan berhenti untuk berdoa. Apapun itu udahlah curhatin aja. Jangan jadiin kegiatan berdoa cuma rutinitas belaka, yaa coba berusaha dimaknai lah yaa. Toh berdoa nggak akan ada ruginya, gratis pula.
Kalau sama manusia aja kita bisa curhat sebegitu lepasnya, masa sih sama zat yang paling mengerti isi hati dan solusi dari semua permasalahan kita, malah nggak bisa?
Yaa, selamat berdoa. Selamat memaknai setiap untaian kata. Selamat melemahkan diri di hadapan satu-satunya zat yang paling berhak diminta, Allah subhanahu wa ta’ala.
Laa haula walaa quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adziim.
#MeletakAsa