Dilema Anak Pertama

Amelia Khoirurrahma

--

Kadang saya suka nyeletuk ke teman-teman atau adik-adik perempuan. Kalau kita ingin mendapatkan banyak pelajaran kehidupan, cobalah ngobrol sama ibu-ibu. Mereka itu luas sekali ilmu dan pengalamannya.

Seringnya, ngobrol sama senior (yang baik) itu lebih bisa bikin tenang. Beda aja gitu vibes-nya kalau dibandingkan ngobrol dengan teman sebaya yang biasanya masih berputar pada topik karir belok, kesepian, insecure, kegagalan, minim pencapaian, atau ketakutan akan masa depan.

Ada yang relate? Eh, hahaha.

Photo by Jeremy McKnight on Unsplash

Salah satu topik yang sering saya dengar dari ibu-ibu adalah tentang anak pertama. Ketika weekend kemarin saya berkumpul dengan tiga orang ibu lewat paruh baya, bahasan anak pertama ini lagi-lagi diperbincangkan bersama.

Saya nggak tahu ya kalau bapak-bapak. Selain karena jarang ngobrol, kaum mereka juga sepertinya lebih sulit untuk mengungkapkan perasaan yang mereka punya.

Ibu-ibu yang saya dengar suaranya itu suka merasa bersalah sama anak pertama. Kalau ingin membuat seorang ibu berkaca-kaca, coba saja tanya bagaimana perjuangannya membesarkan dan mendidik anak pertama.

Anak pertama di mata mereka itu adalah anak yang lahir di tengah kondisi serba kekurangan. Kurang mental yang mapan, kurang kemampuan mengontrol perasaan, kurang ilmu agama sebagai acuan, kurang fasilitas tempat yang nyaman, kurang kendaraan yang memudahkan, dan pastinya sebagai orang tua masih sangat amat kurang pengalaman.

Anak yang kata mereka dulu paling sering dimarahi, bahkan menjadi korban ketidakmampuan orang tuanya dalam mengelola emosi. Anak yang melihat bagaimana perselisihan di antara kedua orang tuanya kerap terjadi, dipaksa keadaan untuk mencoba memahami berbagai kondisi dan situasi.

Anak yang sejak kecil sudah ditempa pundaknya, dituntut untuk serba mengalah dengan adiknya. Padahal bukan tanggung jawab dia dalam memfasilitasi segala kebutuhan adik-adiknya.

Anak yang menyaksikan jatuh bangun kondisi ekonomi keluarga. Mulai dari ala kadarnya, naik turun, sampai akhirnya jauh membaik setelah perjuangan yang cukup lama. Mulai dari hanya punya sebuah sepeda sampai kini sudah bisa wisata dengan mobil sekeluarga.

Yaa, itu kata mereka. Disertai nada penyesalan di akhir ceritanya.

Kalau mau dibandingkan dengan anak ketiga atau kelima, tentu perjuangan dan kondisi keluarga yang dilalui anak pertama tidaklah sama. Anak-anak yang lebih muda mendapatkan fasilitas yang jauh lebih layak dari kakak-kakaknya.

Sebagian dari mereka mengatakan bahwa anak yang paling ingin mereka bahagiakan, ya anak pertama. Ingin sekali rasanya menebus kesalahan dan meminta maaf atas segala kejadian tak mengenakkan yang pernah mereka berikan.

Teruntuk teman-temanku anak pertama, juga kakakku di antaranya, terima kasih karena telah melalui lika-liku perjalanan yang mungkin tidak adik-adikmu rasakan. Terima kasih telah menjadi penguat dan menemani orang tuamu di titik terendah kehidupan.

Hei, kamu tahu kan?

Tak semua bahu sekuat milikmu, tak semua punggung sekokoh punyamu, tak semua hati sesabar dirimu. Kamu harus tahu kenapa kamu yang dipilih untuk menempati posisi hebat itu.

Terlepas dari bagaimana kesalahan orang tua di masa lalu, semoga kita semua dapat saling memaafkan dalam hal apapun itu.

Sedewasa-dewasanya mereka, kita ini masih sama. Sama-sama manusia. Makhluk yang tidak luput dari dosa dan masih terus belajar menjadi sebaik-baiknya pribadi di dunia.

#MeletakAsa

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Amelia Khoirurrahma
Amelia Khoirurrahma

Written by Amelia Khoirurrahma

Semi jurnal kehidupan, tidak akan relevan untuk banyak orang.

Responses (1)

Write a response