Berhenti Menormalisasi Candaan Berbau Seksual

Amelia Khoirurrahma
4 min readNov 30, 2024

--

Tidak terasa, sudah genap tiga bulan saya kembali menjadi seorang anker alias anak kereta. Lima kali seminggu menghabiskan waktu satu setengah jam setiap harinya di kereta. So far menyenangkan, walau kadang rasa lelah juga kerap datang.

Ada begitu banyak fenomena yang saya lihat setiap harinya. Saya senang karena transportasi satu ini semakin berkembang sejak terakhir saya rutin menggunakannya ketika SMA. Mulai dari rute yang makin luas, fasilitas yang makin lengkap, dan tentunya kehadiran aplikasi untuk melihat posisi kereta secara real time yang sangat membantu para pengguna.

Selain itu semua, ada sebuah pengumuman di dalam rangkaian kereta yang hampir setiap hari saya dengar dan selalu menarik perhatian. Pengumuman berupa imbauan agar segera melapor ke petugas apabila mengalami pelecehan seksual. Announcer juga menyertakan sanksi yang tertera dalam UU No.12 Tahun 2022 untuk membuat jera para pelaku pelecehan seksual. Sebuah tindakan yang sangat saya apresiasi.

Meski begitu, beberapa jam lalu, saya baru membaca sebuah berita mengenai pelecehan seksual di KRL yang terjadi baru-baru ini. Ya, lagi dan lagi.

Haha. Miris. Masih sama ternyata.

Pelecehan seksual menurut saya adalah sebuah fenomena yang sangat dilematis bagi korbannya. Terutama wanita, tidak banyak yang berani bersuara saat mereka menjadi korban.

Mungkin tidak semua dari kita pernah mengalami pelecehan seksual secara fisik, tapi saya yakin hampir semua orang dewasa sering mendengar berbagai candaan yang berbau seksual. Terlepas apakah candaan tersebut sudah termasuk kategori pelecehan verbal atau bukan.

Bukan bermaksud seksis, tapi realitanya candaan-candaan itu lebih sering keluar dari mulut para pria, terutama di lingkup tongkrongan mereka. Tentu tidak menutup fakta bahwa ada juga wanita yang ikut serta menjadi pelakunya.

Saya tahu, lingkaran pertemanan — laki-laki atau perempuan — tidak akan pernah lepas dari humor dan candaan. Melemparkan candaan merupakan salah satu metode perekat pertemanan. Akan tetapi, saya tidak pernah bisa menormalisasi candaan yang berbau seksual.

Ada banyak topik lain yang bisa dijadikan bahan bercandaan, mengapa harus sering mengarah ke ranah seksual?

Saya sangat menyukai pembicaraan mengenai edukasi seksual yang sifatnya mendidik, tetapi bukan berupa candaan dengan mengarah ke suatu maksud atau orang tertentu. Apalagi jika sudah sampai menghina fisik seseorang karena tidak sesuai dengan standar ideal yang dimilikinya.

Sampai saat ini, saya masih tidak dapat menormalisasi candaan semacam itu. Dulu, saya pernah berpikiran bahwa selama candaan berbau seksual tersebut bukan dilemparkan di circle saya, maka saya akan bodo amat dan tutup mata. Biarlah para laki-laki itu berbicara sesukanya di tongkrongan mereka.

Oh, tapi ternyata saya tidak bisa tutup mata. Semakin bertambah angka di kolom usia, saya semakin tidak bisa membayangkan apabila orang-orang terdekat saya termasuk ke dalam pelaku jokes berbau seksual ataupun menormalisasi hal itu.

Ketika seorang laki-laki terbiasa menormalisasi perilaku tersebut, bukan tidak mungkin jika selanjutnya perempuan terdekatnya lah yang akan dijadikan bahan objek candaan di tongkrongan. Ugh, saya tidak terbayang, naudzubillah min dzalik.

Saya menulis ini karena beberapa hari lalu terpapar ke dalam lingkungan sekelompok pria berusia 30–40 tahunan yang dengan mudahnya saling tertawa bersama atas berbagai jokes berbau seksual.

Kok bisa? Di depan wanita pula?

Saya jadi teringat pengalaman ketika SMP dahulu saat sekelompok siswa laki-laki yang sering berkumpul mengomentari fisik beberapa teman perempuan. Hih, sangat tidak sopan!

Photo by Pacto Visual on Unsplash

Sebuah jurnal penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa kriminologi tentang “Fenomena Jokes Seksis Mahasiswa Sebagai Bentuk Normalisasi Pelecehan Seksual Secara Verbal” menyatakan hasil sebagai berikut.

Hasil yang didapatkan dari penelitian ini adalah, mahasiswa laki-laki sebagai pelaku jokes seksis menormalisasi tindakan pelecehan seksual secara verbal menggunakan teknik-teknik netralisasi.

The Denial of Responsibility: dalam melontarkan jokes seksis pelaku hanya mengikuti teman yang lainnya;

The Denial of Injury: pelaku mendapati bahwa korban ikut menikmati jokes seksis yang ia lontarkan;

The Denial of Victim: pelaku akan melontarkan jokes seksis kepada korban yang bertutur kata dan berpenampilan kurang baik;

The Condemnation of The Condemners: korban masih menikmati dan tidak merasa tersakiti atas jokes yang mereka lontarkan maka mereka tidak akan memikirkan pandangan dan masukan dari orang lain;

Appeal to Higher Loyalties: pelaku juga berkeyakinan bahwa jokes seksis merupakan tanda kedekatan dalam suatu hubungan pertemanan.

Hemat saya, alasan yang sama juga masih berlaku mengapa orang-orang yang lebih tua tetap suka melontarkan dan menormalisasi candaan berbau seksual.

Padahal hal yang dinormalisasi dan dianggap remeh itu merupakan akar dari maraknya kasus pelecehan yang lebih serius lagi, bahkan sampai ke kasus perkosaan dan pembunuhan.

Rape culture pyramid.

Dapat dilihat pada rape culture pyramid atau piramida budaya perkosaan bahwa tindakan pewajaran jokes seksis atau candaan berbau seksual merupakan salah satu penyusun bagian bawah piramida.

Sikap normalisasi tersebut yang akan terus membuahkan tindak pelecehan seksual lainnya. Semakin serius tingkatnya, maka semakin tinggi posisinya di piramida.

Ayolah, stop normalisasi jokes semacam itu.

Salah satu cara agar tidak mewajarkan hal tersebut adalah dengan membatasi informasi mengenai hal-hal berbau seksual yang tidak mendidik. Hal yang paling umum yaitu pornografi.

Rasanya setiap remaja atau orang dewasa yang sudah memiliki gadget, hampir pasti akan terpapar konten pornografi. Baik itu disengaja ataupun tidak.

Terbiasa menikmati konten pornografi akan menyebabkan banyak dampak negatif. Saya tidak membahas hal itu secara penuh. Hanya saja, tentu salah satunya dampaknya berkaitan dengan sikap menormalisasi jokes seksual tersebut. Sebaliknya, dengan membuat informasi mengenai pornografi menjadi asing bagi diri kita, secara tidak langsung akan membuat kita juga merasa tidak nyaman ketika mendengar candaan berbau seksual.

Lebih spesifik lagi, sebagai seorang muslim tentu memiliki batas tersendiri dalam bercanda. Salah satunya tidak boleh menjatuhkan martabat orang lain. Jelas saja melakukan candaan berbau seksual sudah masuk dalam kategori terlarang.

Jangan sampai hanya karena ingin merekatkan hubungan atau menyenangkan orang lain semata, kita malah tergelincir ikut menormalisasi atau menjadi pelakunya.

Jika belum bisa melawan, setidaknya jangan ikut melempar candaan serupa. Jangan juga tertawa dan menunjukkan kalau hal itu adalah hal yang wajar untuk dilakukan.

Semoga Allah melindungi lisan kita dari hal-hal yang tidak seharusnya. Aamiin.

#MeletakAsa

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

Amelia Khoirurrahma
Amelia Khoirurrahma

Written by Amelia Khoirurrahma

Semi jurnal kehidupan, tidak akan relevan untuk banyak orang.

No responses yet

Write a response