Berelasi dengan Diri Sendiri
Setiap kali mendengar kata relasi, hal yang muncul dalam pikiran saya adalah hubungan antara diri kita dengan pihak lain. Entah itu orang, organisasi, perusahaan, ataupun lembaga lain. Sebuah hubungan yang terjalin antara dua pihak atau lebih dengan maksud dan tujuan tertentu.
Padahal, ada relasi yang seharusnya kita pupuk terlebih dahulu sebelum menjalin relasi dengan yang lainnya. Ya, relasi dengan diri sendiri.
Apakah selama ini kita membangun hubungan yang baik dengan diri kita sendiri?
Jawaban idealnya tentu saja iya, tapi apakah benar-benar iya?
Mari kita coba pakai sebuah analogi. Misalnya, kita dapat kesempatan untuk menjamu seorang presiden di rumah kita. Tentu akan ada banyak hal yang kita persiapkan sebelumnya. Orang penting loh ini, orang nomor satu di negaranya.
Kita akan sibuk riset beberapa waktu sebelum hari itu tiba. Mulai dari bagaimana tata krama menjamu seorang kepala negara, jam berapa presiden akan datang, berapa banyak pengawal yang dibawa, di mana lokasi parkir kendaraanya, apa makanan yang presiden suka, berapa banyak porsinya, bahkan sampai hal-hal detail semacam posisi duduk di meja makan pun akan kita pikirkan.
Belum lagi, riset terkait topik apa yang akan dibicarakan bersama presiden nanti juga menjadi suatu hal yang wajib dilakukan. Kita sadar betapa sedikit dan berharganya waktu yang presiden punya sehingga kita tidak akan menyia-nyiakannya. Apalagi waktu berdiskusi bersama presiden ini bagaikan sesi pitching deck ke seorang investor yang menentukan akan seperti apa keputusan investor itu nantinya terhadap sesuatu yang kita bawa.
Kenapa kita sampai rela melakukan itu semua?
Ya karena kita punya tujuan. Kita ingin relasi dengan presiden ke depannya tetap baik, bahkan kita mengusahakan agar presiden dapat mempermudah berbagai proyek yang akan kita lakukan ke depan atau berbagai tujuan lainnya.
Kita sudahi bagian analoginya. Sekarang pertanyaannya, apakah kita melakukan hal yang sama kepada diri kita sendiri? Apakah kita sering mencoba memahami berbagai hal dari diri kita? Apa yang kita suka dan tidak suka?
Kalau kepada orang penting saja kita bisa rela memahami sebegitu detailnya, lalu kenapa justru kepada diri kita sendiri malah tidak sampai sebegitunya?
Padahal diri kita adalah salah satu aset terbesar dalam menjalani kehidupan yang kita punya. Pemahaman tentang diri sendiri adalah suatu investasi jangka panjang. Ada banyak hal yang dapat kita lakukan dengan jauh lebih efisien setelah memahami apa yang diri kita miliki. Kebetulan dua minggu ke belakang saya sedang berada di tahap ini, mencoba kembali berelasi dengan diri sendiri.
Proses berelasi terhadap diri sendiri ini ada dua macam, yaitu surface level dan deep level. Perbedaannya ada pada tingkat pemahaman terhadap diri.
Surface level merupakan proses yang hanya ada di tingkat terluar, seperti memahami bahwa diri kita butuh makan, membersihkan badan, butuh berteman, butuh menggunting kuku, atau butuh pakaian yang menutup tubuh.
Relasi pada tahap ini juga dapat diartikan kita yang mengetahui bentuk tubuh, tinggi badan, berat badan, warna kulit, tipe rambut, dan berbagai karakter fisik lain yang tampak dari luar.
Mayoritas manusia dapat dengan mudah memahami berbagai aspek diri sendiri pada level tersebut. Namun, surface level saja tidak cukup.
Sementara itu, proses relasi deep level lebih berfokus pada hal-hal yang tidak terlihat dalam waktu singkat. Contohnya seperti memahami kelebihan dan kekurangan diri, hal yang disukai dan tidak disukai, regulasi emosi, regulasi reaksi, juga terkait tujuan-tujuan jangka panjang yang ingin diperoleh dalam menjalani kehidupan.
Proses berelasi pada deep level ini akan membuat kita dapat menentukan berbagai hal dengan mengetahui alasan-alasan di baliknya, alih-alih hanya sekadar berkehidupan karena mengikuti seperti apa yang terlihat dari orang-orang di sekitar.
Kedua proses relasi diri tersebut sama-sama penting dan saling terkait satu sama lain. Dalam artikel tentang self-care yang ditulis oleh Tina Stinson menyebutkan bahwa jika kita hanya berelasi dengan diri sendiri pada surface level, maka kita akan memaknai mandi sebagai proses pembersihan tubuh dari kotoran.
Lebih dari itu, jika kita telah berelasi pada deep level, maka kita akan memaknai mandi sebagai suatu aktivitas pereda stres yang dapat meringankan pikiran dan suatu bentuk kecintaan pada diri sendiri. Tidak berlaku umum tentu saja, mungkin ada orang-orang yang memaknai mandi sebagai pemborosan air.
Intinya adalah ketika kita sudah sampai pada deep level, maka konektivitas yang kita bangun antara suatu kegiatan yang kita lakukan dengan diri kita sendiri akan jauh lebih dalam. Akhirnya kita dapat lebih memaknai setiap hal yang kita lakukan dan percaya bahwa hal-hal sederhana sekalipun tetap memiliki tujuan.
Kita juga tidak akan mudah terbawa arus oleh hal-hal yang sedang terjadi di sekitar. Mungkin dari luar aktivitasnya terlihat sama, tapi coba bedakan orang yang bekerja karena tekanan sosial dengan orang yang bekerja karena merasa bertanggung jawab untuk menafkahi keluarganya. Pasti terdapat perbedaan dalam dirinya.
Kadang berelasi dengan diri sendiri sering disalahartikan sebagai bentuk egoisme yang hanya ingin mengikuti apa kata mau diri, tapi tentu tidak begitu. Jika kita dapat memahami diri sendiri, kita tentu akan lebih mudah mendapatkan alasan mengapa harus berbuat baik kepada orang lain, mengapa harus taat beribadah, mengapa harus toleran terhadap perbedaan, dan akhirnya membuat hubungan sosial kita juga dapat menjadi lebih baik.
Yaa, bentuk relasi dengan diri sendiri ini juga seharusnya menguatkan relasi kita dengan Allah. Semakin mengenal diri kita, maka kebutuhan kita terhadap Allah dan pertolongan-Nya akan semakin meningkat pula.
#MeletakAsa