4 — Jawa-Sunda
“Pokoknya kamu mah jangan nikah sama orang Sunda, ya. Carinya sama orang Jawa aja.”
Kalimat itu yang diucap berulang kali sama Mbak Wati, salah satu pekerja di rumah Afra. Mbak Wati ini sangat suka cerita orangnya. Saya yang pada dasarnya suka dengerin cerita hidup orang, tentunya dengan senang hati menyimak setiap cerita Mbak Wati. Lumayan lah jadi temen nugas, walaupun kadang lebih seru dengerin masa lalu Mbak Wati dan berujung menunda tugas dulu hahaha.
Dengerin cerita Mbak Wati itu seperti lagi dengerin mama saya sendiri. Kebetulan usia Beliau juga seumuran dengan mama saya. Mama saya tiap cerita sama saya tuh biasanya bisa sampai berjam-jam, begitupun Mbak Wati.
Balik ke pernyataan awal, kenapa sih Mbak Wati semangat banget nyuruh saya biar jangan nikah sama orang Sunda? Mbak Wati ini asli orang Purwokerto, Jawa Tengah dan punya suami orang Bandung.
Berdasarkan kisah Mbak Wati yang notabenenya orang Jawa dengan segala sifat pengerten, legowo, dan sungkan-nya, nikah sama orang Sunda itu sulit. Entah dari gaya hidup, kultur keluarga, sampai berbagai macam perbedaan karakter lainnya. Saya yang dengerin cerita Mbak Wati manggut-manggut aja.
Menurut Mbak Wati, nikah sama orang Sunda itu susah diajak maju, mau nabung juga susah. Soalnya tiap ada uang lebih, maunya ya dibelanjain saat itu juga. Beda sama Mbak Wati yang pengennya uang lebih ya ditabung dulu gitu, biar bisa beli tanah atau sawah buat investasi masa depan juga.
Mbak Wati pun cerita ketika masih muda, Beliau sering disukai orang Sunda dan berakhir dramatis ketika perasaan mereka ditolak olehnya. Berkali-kali Mbak Wati terkena pelet dan guna-guna (atau apalah sebutannya) dari para pria Sunda tersebut. Saya akui Mbak Wati ini meskipun sudah kepala lima, masih terlihat aura kecantikannya.
Belum lagi Mbak Wati yang menambahkan beberapa cerita lain dari para saudaranya terkait pernikahan mereka yang kandas akibat drama Jawa-Sunda. Lucunya, Mbak Wati juga cerita waktu menemani saudaranya ke pengadilan agama, ada orang pengadilan yang bercerita kalau kebanyakan perceraian itu dialami oleh orang Sunda. Saya ketawa aja mendengarnya.
Serulah pokoknya nyimak segala cerita dari Mbak Wati ini, berasa ketemu mama kedua. Kalau saya sendiri sih percaya nggak percaya ya, balik lagi ke karakter orangnya. Mama dulu juga suka nyuruh saya ngedeketin temen laki-laki orang Jawa, siapa tau jodoh katanya hahaha. Tapi mama sekian tahun ke belakang udah nggak bahas hal itu, mungkin karena lebih sering ngaji kali ya, jadi paham karakter orang bukan ditentukan dari sukunya.
Di akhir, Mbak Wati pun ngasih disclaimer kalau itu nggak semuanya. Beliau ngasih nasihat ya lebih enak sama-sama Jawa, udah saling paham budayanya. Kalaupun bukan orang Jawa, sebisa mungkin cari yang mandiri dan bertanggung jawab orangnya. Jangan cuma cari yang tinggi ilmunya, lulusan sekolah agama, atau banyak hafalan Al-Qur’annya. Kata Mbak Wati, tiga hal itu bukan apa-apa kalau dalam kehidupan sehari-hari ternyata nggak diterapkan ilmunya.
Mantap betul Mbak Wati, setuju banget sama poin terakhir. Kalau ada yang nanya kenapa saya senang ngobrol sama para pekerja kerah biru seperti Mbak Wati ini, ya karena saya suka dapat insight dari mereka yang sudah mengarungi hidup berpuluh tahun lamanya, terlepas dari apapun status sosial mereka.
Sehat selalu Mbak Wati, cepat sembuh ya, semoga selalu Allah lindungi dan limpahi berbagai macam keberkahan untuk keluarganya. Aamiin.