101 Guideline: Berteman dengan Lawan Jenis

Karena dalam berteman tetap butuh batasan.

Amelia Khoirurrahma
4 min readSep 21, 2024
Photo by Nicolas COMTE on Unsplash

Bohong kalau kita bilang tidak punya teman lawan jenis. Namanya tinggal di lingkungan sosial ya pasti ada. Bahkan sekelas Rasulullah saja tetap berinteraksi dengan kaum wanita. Tinggal bagaimana kita dapat menjaga batasan-batasannya.

Tulisan ini dipicu oleh lingkungan pekerjaan yang belakangan isinya 90% kaum Adam—halah padahal dari kuliah juga udah begitu sih isinya. Hitung-hitung sebuah usaha mengingatkan diri sendiri akan pentingnya batasan interaksi. Syukur-syukur kalau ada yang ikut tercerahkan juga hihi.

Tata cara berteman dengan lawan jenis versi Amle:

Mahram first.

Paling pertama dan utama, biasakan kalau butuh sesuatu — apalagi yang sifatnya personal — carinya mahram dulu. Mau nanya, mau curhat, mau sambat, mau nangis, mau sleep call, mau minta temenin ke suatu tempat?

Tolong. Cari. Mahram. Dulu.

Bisa ke keluarga, perempuan ke teman perempuan, atau laki-laki ke teman laki-laki. Jangan bermudah-mudah menghubungi atau mencari bantuan ke lawan jenis nonmahram nonhalal. Kalau memang tidak ada mahram yang bisa dimintai tolong atau memang urusannya harus ke lawan jenis, nah baru silakan. Itupun syarat dan ketentuan berlaku heheu~

Cover the awrah.

Klise, tapi penting. Aurat perempuan tentu lebih kompleks dibanding laki-laki. Jangan karena merasa sudah jadi teman dekat, terus aurat tubuhnya malah makin terlihat. Buat lawan jenisnya juga, kalau temannya makin mudah memperlihatkan aurat, silakan diingatkan.

Oh iya, suara perempuan juga bisa termasuk aurat, tapi khusus suara yang lembut dan mendayu-dayu. Makanya, kalau ngobrol sama teman laki-laki jangan sok cosplay jadi princess deh ya haha.

Aku senang waktu sempat kerja satu ruangan isinya perempuan semua. Bebas cuy mau lepas kaus kaki dan manset tangan, mau ikat kerudung ke belakang, atau mau bercanda pakai bermacam gaya pun fine fine aja.

No skin ship — at least trying.

Jujur, kalau kerja di lingkungan yang nggak punya prinsip serupa tentang skin ship ini pasti susah. Soalnya semua pertemuan serba pakai jabat tangan. Butuh usaha ekstra untuk menolak jabat tangan sambil senyum lebar dan berharap si lawan jenis tidak tersinggung — peace!

Kalaupun belum bisa 100% nggak tersentuh, at least trying sih. Poinnya adalah jangan jadi orang yang mudah colak-colek tangan, tepuk bahu, atau sender-senderan ke lawan jenis. Tubuh kita itu berharga bre, hanya mahram atau pasangan halal yang boleh menyentuh. Masa kalah sama Ratu Inggris yang serba steril dari sentuhan rakyatnya?

Ojol everywhere.

Nah ini, jangan juga bermudah-mudah nebeng ke lawan jenis hanya karena jalurnya searah. Please lah, ojol everywhere ya. Apa sih arti uang yang kita keluarkan buat ojol itu dibandingkan dengan ketaatan pada Allah?

Kecuali, kalau nebengnya naik mobil dan nggak cuma berduaan. Itu masih okelah. Boleh juga kalau memang di pedalaman belantara yang nggak ada opsi lain selain nebeng lawan jenis — kayak nebeng motor bapak-bapak warga setempat gitu — dan berbahaya misalkan kita jalan sendirian. Kalau di perkotaan mah jangan ya dek ya~

Professional only.

Biasakan berinteraksi dengan teman lawan jenis sesuai kebutuhan. Buat aku, ranahnya cukup di bagian profesional. Kerjaan, pendidikan, perniagaan, organisasi, komunitas, biasakan sebatas urusan itu aja. Nggak perlu sering-sering reply story sosmed teman lawan jenis kita.

Kalau profesimu dokter dan menangani pasien lawan jenis, silakan. Kalau profesimu psikolog dan mendengarkan curhatan lawan jenis, silakan pula.

Loh, kita kan manusia, masa iya sih kerja, kuliah, organisasi, dll itu kaku terus, nggak ada sesi bercandanya? Tentu pasti akan ada, nih simak poin berikutnya.

Public space please, not personal.

Kalau harus berurusan sama lawan jenis untuk urusan nonprofesional bagaimana?

Jawabannya, gunakan ruang publik.

Buat aku, bercanda sama lawan jenis boleh, tapi di ruang publik. Minta nasihat ke lawan jenis boleh, tapi di ruang publik. Ngasih hadiah apresiasi ke lawan jenis boleh, lagi-lagi sebisa mungkin di ruang publik.

Ruang publik itu ruangan yang memungkinkan orang lain bisa mengakses apa yang kita lakukan atau bicarakan terhadap si lawan jenis tersebut. Contohnya ngobrol di tempat ramai, tempat umum, atau grup chat yang isinya bukan dua orang doang. Ruang tertutup seperti gudang sekolah, mobil, dan personal chat tidak termasuk ruang publik.

Sebisa mungkin tidak berduaan aja ya. Terus misalnya harus banget cuma berdua karena topiknya sensitif dan rahasia gimana? Nah, ini last part pokoknya.

Focus on a topic, set the time.

Kalau benar-benar rahasia dan super penting banget — seakan-akan kalau nggak dibahas tuh hidup kita berantakan — yaudah berarti boleh dibahas di ruang personal atau di lokasi ramai dengan kondisi berdua saja, seperti kafe atau taman.

Tapi nih ya, wajib ditentuin sejak awal topiknya apa dan waktunya berapa lama. Vibesnya dibikin kayak janjian meeting aja gitu biar nggak ke mana-mana obrolannya. Kalau ketemu langsung jangan saling hadap-hadapan, kalau di chat jangan nambah-nambahin emoticon atau stiker receh. Seperlunya aja ya bestie~

Rome wasn’t built in a day, and so are habits!

Ribet ya? Hahaha. Risiko jadi muslim ya begini, harus mempertimbangkan segala tindakan dalam bingkai Islam. Jangan sampai memudahkan segala jenis interaksi tanpa batasan.

Di samping itu, coba refleksi ke depan. Memangnya mau punya pasangan yang bermudah-mudah dengan lawan jenis?

Kalau jawabannya nggak mau, ya berarti harus dimulai dari diri sendiri dulu. Please lah, membangun habit tuh prosesnya lama, nggak terbentuk seketika saat kita berubah status dari single menjadi menikah.

Aku menulis bukan karena sudah baik, tentu masih banyak kurangnya manusia satu ini. Yuk, sama-sama belajar untuk saling menjaga interaksi. Perempuan jaga diri, laki-laki juga pasti. Semoga kita semua dimudahkan Allah untuk menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

#MeletakAsa

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

--

--

Amelia Khoirurrahma
Amelia Khoirurrahma

Written by Amelia Khoirurrahma

Semi jurnal kehidupan, tidak akan relevan untuk banyak orang.

Responses (1)

Write a response